Menghormati Tamu itu Penting

Sebelum masuk Islam, Adi bin Hatim ra. diajak ke rumah Rasulullah saw.. Sesampai di rumah Rasulullah, beliau mencari sebuah bantal dan berkata kepada Adi bin Hatim, “Silahkan Anda duduk di atas bantal itu!”

Adi bin Hatim menjawab, “Bagaimana dengan anda? Duduklah Anda di atasnya.”
Beliau berkata, “Anda yang lebih utama.”

Adi bin Hatim pun duduk di atas bantal yang disediakan beliau dan beliau duduk tanpa alas apa pun. (Fikih Sirah karya Ramadhan Al-Buthi)

Mungkin para pembaca pernah tahu kisah ketika Rasulullah kedatangan seorang tamu. Namun beliau saw tidak dapat menjamunya. Karena hal itu, beliau bertanya kepada para sahabatnya, “Siapakah diantara kalian yang mau menjamu tamu saya ini?”

Salah seorang sahabat bersedia menjamu tamu itu.
Di saat waktu makan malam tiba, penerangan di rumah itu dimatikan. Di atas meja makan telah tersedia wadah untuk makan yang berjumlah 4 orang. Wadah untuk sahabat Rasulullah, istrinya, anaknya dan tamunya.
Makanan dihidangkan. Belakangan diketahui bahwa persediaan makan yang sebelumnya dipersiapkan sahabat Rasulullah untuk keluarganya itu diserahkan semuanya kepada tamunya itu.

Berkenaan dengan peristiwa ini Allah menurunkan ayat, “dan mereka mengutamakan, atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan/membutuhkan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr (59):9)

Selama ini, kita hanya mengetahui bahwa Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk menghormati tamu. Tapi bagaimana menghormati tamu? Bagaimana batas-batas menghormati tamu?

Rasulullah sebagai sosok yang memerintahkan kita untuk menghormati tamu telah mencontohkan bagaimana menghormati tamu? Beliau lebih baik tidak duduk di atas bantal, asalkan tamunya duduk di atas bantal.

Contoh kedua pun mencontohkannya demikian. Tuan rumah tidak makan, tidak menjadi masalah asalkan tamu dapat dijamu.

Menjamu tamu ternyata bukan perkara yang sepele. Sewaktu Adi bin Hatim menjadi tamu Rasulullah, dia masih beragama Nasrani. Dia amat kagum dengan perilaku Rasulullah yang begitu menghormati dirinya sebagai seorang tamu. Padahal saat itu, Rasulullah adalah seorang penguasa Madinah. Sampai-sampai Adi bin Hatim berujar, “‘Demi Allah! Raja/penguasa seperti apakah ini?”

Setelah kekaguman ini, terjadilah dialog antara Rasulullah dan Adi bin Hatim. Dialog ini berujung pada pilihan Adi bin Hatim untuk memeluk Islam .

Bagaimana andaikan kesan pertama dan kedua Adi bin Hatim terhadap Rasulullah tidak menyenangkan? Barangkali tidak akan terjadi dialog diantara mereka berdua.

Sebab kekaguman Adi pada perilaku Rasulullah dalam menjamu tamunya merupakan kesan baik Adi yang kedua kalinya.

Kekaguman Adi yang pertama terhadap Rasulullah, yaitu ketika mereka berada dalam perjalanan menuju rumah Rasulullah.

Di dalam perjalanan, ada seorang wanita lemah dan tua menemui beliau saw. Wanita itu minta agar Rasulullah berhenti. Beliau pun berhenti di hadapannya dalam waktu yang cukup lama. Wanita itu berbicara panjang lebar mengenai kebutuhannya. Melihat keadaan ini, Adi berkata dalam hati, ‘Demi Allah! Raja/penguasa seperti apakah ini?” (Fikih Sirah, karya Ramadhan Al-Buthi)

Sekali lagi, bagaimana bila kesan pertama dan kedua Adi terhadap Rasulullah tidak baik? Bisa jadi tidak tercipta dialog diantara mereka.

Perilaku sahabat Rasulullah terhadap tamunya itu pun mendapat pujian dari Allah. Para pembaca bisa melihatnya dalam surat Al-Hasyr di atas.(arnab)

Comments :

0 komentar to “Menghormati Tamu itu Penting”


Posting Komentar