"Dari seluruh bumi Allah, engkaulah tempat yang paling kucintai dan paling dicintai Allah. Jika kaumku tidak mengusirku darimu maka aku tidak akan pernah meninggalkanmu”
Pada malam peristiwa hijrah, ketika Nabi dan Abu Bakr telah sampai diluar kota Mekkah. Nabi menghentikan laju unta nya melihat ke belakang dan pada saat itulah tuturan kalimat yang indah dan penuh kepasrahan itu terucap dari lisannya yang mulia. Seolah sebuah pengaduan kepada Allah, pemilik sekalian alam bahwa seorang hamba-Nya telah dikalahkan dan amat sangat menderita karenanya.
Berat hati Nabi meninggalkan sebuah tempat dimana ia telah dilahirkan, dibesarkan dan telah menjadi bagian dari segala denyut kehidupannya. Tigabelas tahun sejak ia diangkat menjadi Rasul Allah, ia harus berjuang dalam kepedihan dan kesulitan. Caci maki menjadi makanan sehari-hari, fitnah dan gunjingan selalu menyertai langkahnya. Kadang dengan bumbu-bumbu kekerasan fisik yang harus dilewati. Dibasahi kotoran unta, dilempar oleh batu hingga pecah bibirnya dan ditakut-takuti ketika sedang bermunajat kepada Allah didepan Ka’bah. Tak ada yang dapat menyurutkannya. Begitu juga dengan bujuk rayu agar meninggalkan segala bentuk dakwahnya, ia tampik dengan bijaksana. Salah satu pernyataannya adalah ketika para pemimpin kafir Quraish mendatanginya untuk memberinya kekuasaan yang tiada batas, wanita yang ia sukai dan harta yang tak terhingga, Nabi berkata,
“Jika kalian sanggup meletakkan bulan ditangan kananku dan matahari di tangan kiriku, Demi Allah, aku tidak akan pernah berhenti untuk menyampaikan risalah agama Allah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kita sebagai hamba-Nya yang awam kadang berpikir, kenapa Allah Azza wa Jalla harus membirakan kekasih-Nya dalam kesulitan dan penderitaan selama hidup di kota Mekah. Bukankah mudah bagi Allah untuk menyelamatkannya dan menyuruhnya pindah ke kota lain? Semua itu tak lain dan tak bukan adalah untuk meneguhkan kedudukan Nabi Saw sendiri. Bukankah ujian demi ujian bagi seorang hamba selalu bermuara pada kedudukan yang mulia, kebaikan yang banyak dan rahmat Allah yang tiada henti menyertai?
Ketika Nabi Saw dan sahabatnya Abu Bakr ra harus berdiam di gua Tsur untuk beberapa hari demi meredam langkah para kafir Quraish yang senantiasa mencarinya demi imbalan 100 ekor unta, tak ada rasa takut yang menyelimutinya. Orang-orang arab Badui sangat terkenal keahliannya dalam mencari jejak, sehingga beberapa dari mereka dapat menemukan jejak Nabi dan sahabatnya itu. Mereka berusaha mendekat dengan hunusan pedang dan getaran kemarahan yang membuat Abu Bakr menggigil karenanya dan dipenuhi peluh disekujur tubuhnya. Nabi menoleh kepadanya dan berkata, ‘La tahzan, innallaha ma’ana” (Janganlah bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita). Nabi melanjutkan, “Apa yang engkau khawatirkan dari dua orang ketika Allah menjadi yang ketiga.”
“Jikalau kamu tidak menolongnya, maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, diwaktu dia berkata kepada sahabatnya: ‘Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ (QS At Taubah [9]:40)
Ketika semuanya telah berlalu, Nabi dan Abu Bakr pergi ke mulut gua. Disana, di depannya, hampir menutupi jalan masuk ada sebuah pohon akasia kira-kira setengah tinggi manusia yang pagi itu belum ada; dan dicelah antara pohon dan dinding gua terdapat seekor laba-laba telah membuat sarangnya. Nabi dan Abu Bakr melihat ke sarang tersebut dan disana, dilubang sebuah batu ada seekor burung merpati telah bersarang dan sedang duduk seakan-akan mengerami telur-telurnya.
Setelah keadaan memungkinkan Nabi dan Abu Bakr meninggalkan gua tersebut untuk melanjutkan perjalanan ke Yatsrib (Madinah), Ketika itulah Jibril datang kepada Nabi membawa wahyu.
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu melaksanakan Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (Mekah). Katakanlah, “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al Qashash [28]:85)
Janji Allah ‘Azza wa Jalla ini benar. Kurang dari 10 tahun setelah peristiwa Hijrah, Rasulullah Saw dapat membebaskan Mekkah dari cengkraman kafir Quraish dengan penuh kedamaian dan jauh dari pertumpahan darah. Di depan pintu Ka’bah Nabi memanggil kedua belah pihak. Di satu sisi, para sahabatnya yang dahulu pernah merasakan kekejaman dan penindasan dari penduduk Mekah dan disisi yang lain para penduduk Mekah yang pernah melakukan penindasan. Nabi berkata, “Wahai kaum muhajirin, hari ini adalah hari kasih sayang, maafkanlah mereka karena Allah!” Para sahabat muhajirin tadi enggan beranjak dari tempat mereka untuk memaafkan. Lama Nabi menunggu, tidak ada reaksi yang menyertai. Nabi dengan bijak kemudian berkata, “Wahai sahabat-sahabat ku sebentar lagi aku akan kembali ke Madinah, tinggallah kalian disini. Aku tidak ingin memiliki pengikut yang pendendam.” Terdengar tangisan pilu dari para sahabat muhajirin. Salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk berkata, “Ya Rasulullah, Demi Allah dan demi engkau yang lebih kami cintai dari bapak dan ibu kami sendiri, kami ikhlas memaafkan mereka. Jangan tinggalkan kami disini. Tak ada ruang bagi kami untuk menjadi hamba-hamba Allah yang pendendam.”
Allahuma Shalli ‘Ala Muhammad…
(Referensi: MUHAMMAD oleh Martin Lings & Tafsir Ibn Katsir)
disadur dari : eDakwah2 (Mohammad Yasser Fachri)
Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1431 H....(Hikmah Hijrah)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 komentar to “Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1431 H....(Hikmah Hijrah)”
Posting Komentar